Sejarah minuman kopi dimulai sejak satu juta tahun yang lalu di
Ethiopia. Berdasarkan legenda, seorang penggembala mencoba mengkonsumsi
biji kopi setelah melihat kambingnya tidak tidur akibat mereka memakan
buah kopi liar.
Salah satu catatan tertulis pertama bercerita tentang Seikh Omar, yang
membawa kopi ke kota Mocha pada tahun 1250. Kota ini, yang sering
dipanggil Mukha, sekarang berada di Yaman modern.
Selama ratusan tahun, kopi di Yaman telah dicampur dengan kopi dari
Indonesia (Jawa a.k.a Java), untuk menciptakan kopi klasik Mocha Java.
Kedai kopi pertama di dunia dibuka di Makkah pada awal abad 15.
Kedai-kedai itu adalah tempat yang nyaman, tempat orang-orang memanjakan
diri dan berdiskusi politik sambil menghadapi segelas kopi. Selama
periode ini, kopi disajikan dengan merebus biji di dalam air. Praktik
menghaluskan dan me-roasting kopi dimulai di Turki, sekitar 100 tahun kemudian. Di Istanbul yang terkenal memiliki ratusan kedai kopi.
Diketahui pula bahwa jemaah haji yang kembali dari beribadah di belahan
dunia arab membawa bibit kopi ke India pada awal adab 16. Catatan
tertulis menunjukkan bahwa Gubernur Belanda di Malabar (India) mengirim
bibit kopi Yaman atau kopi arabika (Coffea arabica)
kepada Gubernur Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1696.
Bibit pertama ini gagal tumbuh karena banjir di Batavia. Pengapalan
kedua biji kopi ke Batavia dilaporkan terjadi pada tahun 1699. Tanaman
ini tumbuh, dan pada tahun 1711 eksport pertama dikirim dari Jawa ke
Eropa oleh perusahaan dagang Belanda, dikenal sebagai VOC (Verininging Oogst Indies Company)
yang didirikan pada tahun 1602. Selama 10 tahun, eksport meningkat
menjadi 60 ton per tahun. Indonesia adalah tempat pertama kali kopi
dibudidayakan secara luas di luar Arab dan Ethiopia. VOC memonopoli
perdagangan kopi pada tahun 1725 sampai 1780.
Kopi tersebut dikapalkan ke Eropa melalui pelabuhan Batavia. Sebuah
pelabuhan di Muara Sungai Ciliwung yang telah berdiri sejak 397 M ketika
Raja Purnawarman mendirikan kota yang dulunya disebut Sunda Kelapa ini.
Sekarang di daerah kota Jakarta, kita masih dapat menemukan gema dari
peninggalan kehebatan para pelaut yang membangun Jakarta.
Kapal-kapal laut masih memuat kargo di pelabuhan tua itu sampai saat
ini. Museum Bahari bertempat di bekas gedung VOC, yang dulunya dipakai
menyimpan rempah-rempah dan kopi. Menara Syahbandar (mercusuar) dibangun
pada tahun 1839 di ujung dermaga. Dulu, kapal-kapal VOC berlabuh untuk
memuat kargo mereka.
Pada tahun 1700-an, kopi yang dikapalkan dari Batavia dijual seharga 3 Gilders per kilogram di Ansterdam. Income
tahunan Belanda di tahun itu sekitar 200 sampai 400 Guilders, hal ini
sebanding dengan beberapa ratus dolar tiap kilogram saat ini. Di akhir
abad 18 harga jatuh menjadi 0,6 Guilders per kilogram dan tradisi minum
kopi meluas mulai dari kalangan elit sampai masyarakat kebanyakan.
Perdagangan kopi sangat menguntungkan bagi VOC, tetapi bermanfaat
sedikit untuk petani Indonesia yang dipaksa menanamnya oleh pemerintah
Kolonial Belanda. Secara teori, memproduksi komoditas eksport berarti
menghasilkan uang bagi penduduk Jawa untuk membayar pajak mereka. Ini
dalam bahasa Belanda dikenal sebagai Cultuurstelsel (Cultivation System) dan ini meliputi mulai dari rempah-rempah dan komoditas utama pertanian tropis yang sangat beraneka jenisnya. Cultuursstelsel untuk kopi diterapkan di daerah Prenger Jawa Barat. Pada praktiknya, harga untuk komoditas utama pertanian ini di-setting terlalu rendah dan mereka dipalingkan dari pekerjaan buruh yang memproduksi beras, yang menyebabkan situasi berat bagi petani.
Di pertengahan abad ke-17, VOC mengembangkan area tanam kopi arabika di
Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Kepulauan Timor. Di Sulawesi kopi pertama
kali ditanam tahun 1750. Di dataran tinggi di Sumatra Utara kopi pertama
kali tumbuh di dekat Danau Toba pada tahun 1888, diikuti oleh dataran
tinggi Gayo (Aceh) dekat Danau Laut Tawar pada tahun 1924.
Pada tahun 1850, pegawai kolonial belanda, Eduard Doues Dekker, menulis
sebuah buku berjudul “Max Havelaar and the Coffee Auctions of the Dutch
Trading Company” yang mengekspose pressure
pada petani oleh pegawai-pegawai korup dan tamak. Buku ini membantu
mengubah opini publik Belanda tentang “Cultivate System” dan
kolonialisasi secara umum. Baru-baru ini nama Max Havelaar diadopsi oleh
suatu organisasi fair-trade pertama.
Di sekitar abad 18, kolonial Belanda mendirikan lahan pertanian kopi
yang luas di dataran tinggi Ijen di Jawa Timur. Meski demikian, bencana
menghantam pada tahun 1876, ketika kopi diserang penyakit karat daun
yang menyapu Indonesia, membumihanguskan tanaman sejenis. Kopi robusta (C. canephor var. robusta)
diperkenalkan di Jawa Timur pada tahun 1900 sebagai pengganti di
dataran yang lebih rendah dan penyakit karat sekoyong-koyong
dibinasakan.
Pada tahun 1920, perusahan-perusahaan kecil di Indonesia mulai menanam
kopi sebagai komoditas utama. Perkebunan di Jawa dinasionalisasi pada
hari kemerdekaan dan direvitalisasi dengan varietas baru kopi arabika di
tahun 1950-an. Varietas ini diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kecil
melalui pemerintah atau berbagai program pengembangan masyarakat.
Sekarang lebih dari 90% kopi arabika Indonesia dikembangkan oleh
perusahaan kecil terutama di daerah Sumatra Utara, dengan lahan 1 hektar
atau kurang. Produksi arabika tahunan sekitar 75.000 ton dan 90%
diekspor. Kopi arabika yang sampai ke negara lain sebagian besar masuk
ke segmen pasar spesial.
0 komentar:
Posting Komentar